FF : Malaikat Juga Tahu

Kau tidak cantik, standar minimpun tak akan mengijinkan aku meletakkan namamu dalam daftar cantik. Picik ? tidak, aku sudah belajar apa itu cantik. Kau tidak putih, kau tidak tinggi, kau tidak langsing, dan rambutmu pun tidak berkilau jatuh tergerai di pundakmu.

Jujur tanpa dendam pun, aku akan tetap pada pendirianku bahwa kau tidak cantik. Dan itu menikamku puluhan kali lebih sakit, karena aku cantik. Jalan panjang dan mahal telah kulalui, hingga kumiliki semua yang disyaratkan dunia untuk mentasbihkan kata aku-cantik

Tapi kau telah mencuri nasibku
Dia lebih memilihmu daripada aku

Apa yang kau miliki ? Kulitmu lengas tersengat matahari, wajahmu tak akan dilirik dua kali, dan jelas tak ada satu iklan pun yang bisa kau bintangi. Tapi melihatmu tersenyum, kusadari kekalahanku, telak… Tak akan pernah bisa kumiliki senyum setulus itu….

*horeeeeeeee, aku bisaaaaaaaaa*
*nyari contekan ng-embed pidio dulu*

dibuat untuk ikut lomba disini : http://rirhikyu.multiply.com/journal/item/673/LOMBA_MEMBUAT_CERITA_DARI_LAGU?replies_read=182

FF : cobalah untuk setia

Aku duduk beku dihadapanmu,

“Maaf kan abang…”
Sepuluh kali, seratus kali, seribu kali…berapa kalipun kau ucapkan, kebekuan telah menyumbat hatiku, mencengkeram setiap sendi rasaku.

“Maafkan abang, abang khilaf….”
Ke seribu satu kali ? Entahlah, lidahku terjerat nyeri, tak satupun kata terucap. Bening disudut mataku tak berhenti mengalir. Menangisi setiap denyut nadi yang mengalirkan perih keseluruh penjuru jiwa.

“Katakan sesuatu, marahi abang, maki-maki abang….”
Memarahimu ? memaki-maki ? Kaulah pemimpinku, imam hidupku. Bagaimana mungkin mulutku akan lancang menyemburkan murka dan serapah. Meski telah kau goreskan luka yang tak akan pernah sanggup kugenggam.

“Abang memilihmu, abang tetap berada disisimu…”
Memilihku ? bukankah sepuluh tahun yang lalu kau telah memilihku…. Kau sebutkan namaku dalam janji sucimu, dan kuhirup udara dalam dekap janji bahagia, bersama hingga batas usia. Dan kini kau memilihku lagi…. lalu mengapa kali ini pisau tajam yang terasa menembus dan melukai setiap sudut hatiku.

“Abang meninggalkan dia, abang tak akan pergi darimu….”
Dia… dia…. dia…. ribuan jarum berkarat berlomba menorehkan luka. Kau telah pergi dariku, tepat pada saat kau palingkan hatimu. Sedikit celah hati yang kau pikir tak akan melukai siapapun… Tapi tidakkah kau sadari, betapa licinnya jalan nafsu. Setapak kaki kaubiarkan melangkah, telah kau songsong riuh badai di ujung jalan.

“Beri abang kesempatan…”
Seluruh kesempatan pernah jadi milikmu, seluruh kesempatan di dunia untuk membuktikan janji indah bersama. Tapi kau biarkan dusta mengenggelamkanku dalam kubangan nestapa, lalu dimanakah kesempatan bahagiaku ?

“Percaya abang….”
Aku pernah mempercayaimu, aku pernah sangat mempercayaimu. Tapi semua telah berubah menjadi kepingan, tinggal serpihan tajam yang akan selalu memperbaharui luka. Dan apa yang bisa kau harapkan dari sepotong hati yang telah terluka ?

Andai aku bisa mempercayaimu lagi.….

waspadalah, waspadalah…. *bangnapiversiimut*

terima kasih luka

Langit jingga, sore yang tenang dipinggir lapangan kota. Duduk canggung dihadapanmu, aku hanya bisa berharap matahari tak lekas pergi. Apa yang kita bicarakan ? Tak penting, aku hanya tak ingin kehilangan sedetikpun waktu bersamamu. Setidaknya sebelum bola basket itu mengambil alih waktumu, meninggalkanku duduk terdiam merutuki kecanggunganku sendiri.

Langit jingga di tempat yang sama, melompati masa yang berbeda
Aku hanya ingin berterima kasih padamu, untuk hari yang dihiasi debar hati, senyum malu dan semburat merah muda di pipi. Sungguh waktu yang mempesona meski kita berjalan dengan menggenggam luka.

Anak muda dan cinta. Cukup satu senyummu dan tak ada mendung yang mampu mengusir matahari. Begitu memujakah ? mana kutahu, yang kutahu saat itu kau hadir hanya untukku.

Tapi langkah selalu terhenti. Habis waktuku hanya untuk bertanya mengapa, namun takdir hanya mengijinkan kita untuk berpapasan. Tak ada kisah panjang hingga batas usia, hanya sepenggal cerita yang mengisi waktu dengan warna cinta. Merah jambu, putih, biru, abu-abu….

Dan seperti seharusnya, tak ada kita. Cinta datang tidak untuk menggeser keimanan. Aku mengerti dan kau pun mengerti, mimpi bukan tak punya tepi. Terima kasih untuk semua cerita di awal usia, we will be happy for each other….

Langit jingga dipinggir lapangan kota.
Kugenggam erat jemari lelakiku,
Cinta sepanjang sisa umurku
Laki-laki terbaik yang dikirimkan langit untuk menjawab tanyaku.
dan dia bukan kamu….

*jadi pengen pulang kampung…. xixixixi*

Curiga

Enam belas tahun aku bersamamu, apa kau pikir aku tidak tahu ada yang berubah dalam dirimu. Baju rapi, parfum wangi, rambut pun tersisir rapi…. Ada sesuatu sedang terjadi, belum kutemukan bukti, tapi aku tahu ada sesuatu sedang terjadi. Dan aku pun tersulut resah, kurasa aku bukan lagi satu-satunya wanita dalam hidupmu.

Kau pun mulai mudah menghabiskan uangmu, betah berlama-lama diluar rumah, sms dan telpon sembunyi-sembunyi…. Ah, sesuatu sedang mengalihkan pandangan matamu dariku, seseorang telah mengisi ruang dihatimu. Aku merasa kian tersisih, tersudut dalam sepi.

Sudah kucoba mencari jawaban, tapi tiap kali aku bertanya, kau selalu bilang tak ada apa-apa. Sesak dadaku mendengarnya. Percuma kucoba mengingkari, kau jelas telah berubah, seseorang telah hadir diantara kita….

Iya kan ?
Sudah ngaku saja le, aku ini kan simbok-mu…. kamu lagi naksir cewek kan ?

[FF] Gengsi

“Yiaakhhiiiin ?” mulutku penuh blackforrest sementara tanganku sibuk melambaikan potongan kue itu didepan hidung Mila. Si pemilik hidung melengos, “Huenak lho Mil”, senang hatiku melihat penderitaan Mila. “Ngapain juga pake diet Mil, bukannya elo udah rajin fitness ?” Kalimatku berdesakan dengan blackforest di mulut.

“Fitness doang gak cukup. Pola makan harus diatur !”, sembur Mila. Ha, meletus juga sewotnya. “Diet, aerobik, treatmill, facial, waxing, bleaching dan semua ing-ing ntu buat apaan sih Mil ?” tanyaku lagi, iseng lebih lanjut. “Perawatan diri dudul !” Eits, Mila menuju murka. “Bukan karena takut Wim meleng kan ?” Batal murka, sekarang Mila memasang muka sejuta derita. “Kalau curiga tanya aja napa Mil, daripada menyiksa diri gitu”, saranku sok jadi konselor rumah tangga. Ganti lagi ekspresi Mila, sekarang giliran tampang si Nyonyah Besar. Uhmm, gengsi ternyataaaaaa…………

“Dedek nggak boleh mainin hape Papa ya….”. Hp mas Didit berpindah ketanganku. Ada satu sms terbuka. Baca-nggak-baca-nggak…. bacaaaaaa, “Oke, besok aku tunggu Abang di Adi Sucipto” dari Rheina. Tuingtuingtuiiiiing.. ada alarm berdering. Aku tahu besok mas Didit ada kerjaan di Jogja, tapi tidak ada satupun Rheina yang kukenal, dan turun temurun dari jaman purba tidak ada panggilan abang dalam keluarga.

What should I do ? Kutaruh hp mas Didit dan kuraih hp-ku sendiri. “Hallo, besok gue ikut fitness di tempat lu ya Mil !”. Tanpa menunggu jawaban kutambahkan, ” Gue juga pengen nyobain program di salon lu”, n then disconnect, tidak perlu tunggu jawaban. Biar saja Mila mati ketawa di ujung telpon sebelah sana.

*terlalu panjangkah untuk sebuah ff ?*

Luka

Duapuluhdua tahun yang lalu….
Banyak yang berubah, waktu yang mengikis masa muda. Tapi ada yang tetap tinggal, senyum yang sama. Darahku sempat membeku, tapi itu memang kamu. Yeah it’s you, dengan senyum yang tetap sama. Senyum yang sanggup melambungkan hatiku… duapuluhdua tahun yang lalu.

Bimbang, apa yang harus kulakukan ? Masih ada pedih yang tersisa, lamat namun masih terasa. Tapi sudahlah, duapuluh dua tahun rentang waktu yang lama, jauh sudah kenangan yang pernah jadi milik kita, dan akhirnya kupilih kotak confirm

Apa kabar ? semuanya baik-baik saja…. kau dengan hidupmu yang sekarang, dan aku dengan hidupku yang sekarang. Tidak ada yang patut disesali, bukan salahmu bukan pula salahku, hanya sepotong cinta yang tidak pada tempatnya.

Sampai disitu, aku masih bisa tersenyum, pada masa lalu, pada kenangan dan pada perpisahan yang memang harus terjadi. Lalu mataku terpaku pada informasi pilihan hidupmu saat ini, religious views : ……….. Nafasku tertahan, kemana perbedaan yang dulu ? saat nama-Nya tidak pernah sama di ucapku dan di ucapmu….

Maafkan aku Tuhan, tapi ijinkan sekali lagi aku bertanya, seperti juga duapuluh dua tahun yang lalu, adakah nasib telah mempermainkan hidup dan juga hatiku ?

FF : can’t buy me love

Sungguh makhluk yang terlalu dekat dengan sempurna. Cantik, mulus, seksi dan jelas mahal. Gaun yang dipakainya jelas bukan gaun produk massal, jenis gaun yang dibuat khusus untuk dirinya, hanya untuk dirinya. Tas yang ditentengnya, mungkin sama harganya dengan satu rumah btn di pinggiran Jakarta. Bahkan sebelah sepatunya saja mungkin tak terbayar oleh gajiku.

Dimejanya hanya ada segelas capuccino, tak ada makanan. Lalu apa yang dikerjakannya di cafe siang ini kalau tidak untuk makan siang ? Tak perlu mengamati lama untuk tahu bahwa dia sedang menunggu. Bolak-balik matanya berpindah dari arloji dan pintu cafe, wajah cantiknya terlihat tak sabar menunggu. Benar dan pasti dia sedang menunggu.

Siapa yang ditunggunya ? pasti seorang laki-laki tampan dan beruntung. Dan benarlah, seorang laki-laki setengah baya menghampiri. Perempuan cantik itu tersenyum manja. Segera saja mereka asyik berbincang, berdekatan, berpegangan tangan, mesra. Perempuan cantik dan laki-laki tampan…. pasangan cinta yang sempurna.

Sempurna ? Bisa jadi, paling tidak sampai foto-foto mereka yang kuambil sampai ke tangan klien-ku. Dan laki-laki itu akan segera kehilangan jabatan di perusahaan milik mertuanya, dan perempuan itu pun akan segera kehilangan selera, kehilangan rasa cinta. Well, money can’t buy me love eh ?!

———————————

hurrraaaaaay….. my first FF !!
eh, kepanjangan gak ya ?

[fiksi] Adik kecil

Siang hari di lampu merah, matahari panas memanggang ubun-ubun. Udin berkali menoleh, mengamati dan menjaga, sosok mungil dalam buntalan. Adik kecil dalam dekap perempuan tengah baya berbaju compang-camping. Perempuan yang mengenggam kaleng untuk diacungkan, berharap banyak mata menengok bayi lemah dalam dekapan, lalu melempar kepingan –atau lebih baik lagi- lembaran uang.

Apalah yang bisa Udin lakukan, koran majalah masih berat dalam dekapan. Udin kurus hitam dekil, tenggelam dalam lembaran berita yang mengisahkan sejuta kemewahan. Tak bulat niatnya menjajakan dagangan, rusuh hati menatap adik kecil pasrah berselimut panas memanggang. Perempuan itu bukan bunda, tapi bayi kecil adalah adiknya, adik kecil dengan tawa pemantik lentara suka cita.

Ah adik kecil… Udin menemukan cinta di matanya, lembut di ujung jari mungilnya, nyanyi bahagia dalam tawanya. Adik kecil di awal kehidupan, membawa kembali sepotong surga yang hilang tersambar debu jalanan, juga sejumput asa yang terenggut kerasnya hari di lampu merah perempatan.

Adik kecil… adik kecil… akan kubangun masa depan, janji Udin memulai impian. Sekolah… deretan kelas untukmu, bukan jajaran lampu mercuri jalanan. Belajar… agar kau pintar dan gagah meraih kehidupan. Ah, bunga warna-warni menghiasi harapan. Adik kecil harus sekolah, adik kecil akan meraih gemilang masa depan. Akan kujemput setiap rezki yang dijanjikan Tuhan, meski pagi siang sore hingga malam habis di perempatan, Udin mengukir tekad dilangit malam.

Kembali Udin menatap adik kecil dalam dekap perempuan setengan baya dengan kaleng di tangan. Ah, tak seharusnya Mamak meminjamkan adik kecil, membiarkannya berkawan debu jalanan. Tidak, kita semua harus bisa cari makan, getas jawab Mamak surutkan nyali. Daripada molor melulu ngabis-ngabisin makan, biar dia dibawa ngemis. Lalu Mamak menguap panjang. Tak ada lagi yang bisa dikatakan, dengkur Mamak menutup percakapan

Tapi Udin masih terpaku, Mamak… Dini hari baru pulang, lunglai dengan sisa perjuangan semalam. Hanya berbekal badan, tinggalkan hati, jangan bawa-bawa nurani. Mamak, Udin masih memyimpan mimpi untuk Mamak. Mamak yang cantik dengan kerudung dan baju panjang seperti kakak-kakak di sekolah darurat. Tapi Mamak punya sejuta beban, empat mulut menanti diberi makan, Nenek, Udin, adik kecil dan Mamak sendiri. Ah tidak, Udin sudah menjadi laki-laki, laki-laki yang siap berbagi beban Mamak, janji Udin dalam hati. Udin telah mampu berlari, mengejar setiap rezki yang dijanjikan langit.

Adik kecil… perih hati Udin terbawa sosok mungil terbungkus kain dekil, dalam dekapan perempuan paruh baya berbekal kaleng ditangan. Adik kecil yang lahir disambut umpatan dan makian, umpatan mamak pada deretan laki-laki yang datang dan pergi, berganti-ganti tiap malam. Mamak keras berteriak, mengumpat dan memaki. Tapi Udin menemukan tunas mimpi, barang mahal dengan tebusan setinggi langit di kehidupan pinggir rel kereta.

Saat tangan kurus adik kecil menyentuh ujung jari, Udin pun mulai membangun mimpi. Adik kecil berlari riang gemuk menggemaskan, adik kecil berbaju putih merah berlari riang menuju gerbang sekolah, adik kecil terus berlari menjemput indah kehidupan…. Ah,impian indah Udin, janji Udin… dan himpitan hidup yang kian tak ramah. Tapi janji Udin sepenuh hati, pagi siang sore hingga malam hari untuk adik dan impian gemilang masa depan.

Kali duitnya bisa beli susu. Enteng Mamak melepas adik kecil turun ke jalan. Tidak dalam dekapan mamak yang berkubang darah melahirkan, tapi sebagai barang sewaan untuk memanggil iba para dermawan. Mamak ? lirih ucap Udin mempertanyakan. Tapi tertahan ucap di tenggorokan, bening air di ujung mata Mamak menahan Udin melepas keberatan. Ah Mamak, tak mungkin Mamak mendekap adik di perempatan, telah habis terkuras tenaga setiap malam. Udin diam termangu, dan adik pun berpindah tangan.

Udin kembali mengulurkan koran, menjajakan tak sepenuh hati. Adik demam menangis sepanjang malam. Nenek tak bisa berbuat apa-apa, hanya mengoleskan minyak angin dan menjejalkan sejumput penurun panas dari warung di ujung gang. Dan Mamak, pagi buta mamak jatuh teridur di depan pintu, sengak minuman keras tersisa di seluruh badan. Saat perempuan paruh baya datang, ingin Udin menahan adik tetap bersama Nenek .

Tapi perempuan itu galak mengeluarkan sumpah serapah, merasa telah mengeluarkan uang untuk seminggu penuh membawa adik ke perempatan. Menjejalkan lebih banyak lagi obat kemulut adik yang masih juga deman. Begini malah lebih baik, obat bikin tidur, nggak rewel, si perempuan menggumam sambil bergegas membawa adik dalam dekapan. Jaga adikmu din… lirih Nenek menggugah Udin dari kebekuan.

Panas memanggang di perempatan, hati Udin kian rusuh terbawa kemarahan. Berapa kali terdengar adik menangis pelan, terdera demam di sekujur badan. Hanya tangis pelan, tidak mampu melawan demam dan deru kendaraan. Tapi telinga Udin menangkap setiap rengekan, hati Udin merasakan setiap isak kesakitan. Perempuan paruh baya tak peduli, hanya recehan dan untung-untung lembar ribuan yang jatuh ke kaleng yang jadi urusan.

Panas memanggang di perempatan. Rusuh hati Udin terhanyut amarah. Marah pada mamak yang melepas adik kejalanan, marah pada Nenek yang hanya bisa menangis, marah pada perempuan paruh baya yang hanya memikirkan uang di kaleng rombengan, marah pada lalu lalang kendaraan yang angkuh dan tak ambil peduli…

Panas memanggang di perempatan. Adik kecil terbangun karena nyeri seluruh badan, obat tidur tidak lagi mampu meredam tangis kesakitan. Perempuan paruh baya mengumpat marah merasa kerepotan. Udin mendekat meminta sedikit pengertian, biarlah adik kugendong sebentar, barangkali berhenti tangisnya biar cuma sebentar. Tapi perempuan paruh baya tidak peduli, semakin marah karena satu nyala lampu merah terlewatkan, hilang satu kesempatan mengisi kaleng dengan uang. Lalu enteng tangan perempuan itu mencubit paha kurus adik, tanpa ampun, lagi dan lagi.

Tangis adik kian menjadi, merasakan sengat cubitan berkali-kali. Adik kecil, adik kecil… Amarah Udin menyerbu ubun-ubun, tumpukan koran dan majalah terlempar berhamburan. Tangan kecil dekilnya merebut, adik kecil berpindah dekapan , tak peduli sumpah serapah perempuan paruh baya yang terkaget-kaget… tapi Udin sudah berlari.

Lari, lari, lari dan lari, mendesak memenuhi kepala, memotong semua kesadaran…. Berlari Udin membawa adik kecil dalam dekapan , tak lagi peduli lampu masih hijau menyala. Decit rem, jeritan dan debam suara besi yang menghantam, tubuh kecil hitam dekil dan adik tersayang dalam dekapan….

Panas memanggang di perempatan… Udin dan adik kecil menjemput kesejukan. Meninggalkan nenek yang tiba-tiba merasakan kekosongan, meninggalkan Mamak yang terperanjat bangun dalam kepedihan…

untuk matahariku. jangan biarkan dunia menutup mata hatimu….

nb : ini sudah pernah aku posting di lapak sebelah

hujan

Hujan di jalanan, hujan di perempatan
dua tiga anak bermain percikan
satu duduk termangu mendekap tumpukan koran

ingat emak menunggu setoran
ingat adik menanti suapan
mencoba ingat bapak
kian hilang tinggal bayangan

hujan Mak…
indah nian menari menerabas awan
mengusir keringat dan debu jalanan
tapi hujan tak pilih tujuan
lembar koran basah tertampar percikan

hujan Mak…
tak ada yang sudi koran basah menempel di tangan
penat pula berita buruk menghiasi tiap halaman

hujan Mak…
tak hendak aku menyumpahi kehendak Tuhan
karena hujan mengirimkan kehidupan

tapi hujan pula Mak..
dari sudut mataku, dari sudut hatiku
ya Allah, kukirimkan pesan cintaku untuk-Mu…..


November, saat hujan mengirimkan pesan cinta dari langit….