Murni Curcol

Beberapa hari yang lalu aku baca status panjang di fesbuk, cerita tentang anak yang dinyatakan butuh pendampingan khusus, tapi trus tidak dilakukan, dan ternyata pada akhirnya tu anak bisa berprestasi di suatu bidang khusus… well, cerita yang manis dan membesarkan hati sih, alhamdulillah. Tapi sempet ada pertanyaan kecil yang muncul di dalam hati. What if, bagaimana kalau memang anak itu butuh pendampingan khusus ? Jujur ini bakalah jadi postingan curcol, karena aku merasa sudah punya cukup banyak ‘masukan’ dalam masalah seperti ini.

Saat kencono wingko-ku yang paling kecil, Fachri, memasuki usia 2 tahun, aku mulai waspada karena sampai usia itu Fachri belum juga menunjukkan tanda-tanda mau berkomunikasi seperti layaknya anak2 seumuran dia. Jangankan sepatah kata, satu suku katapun belum ada yang keluar dari mulutnya. not even, a single word Ma…. Jadi aku memutuskan untuk membawa Fachri ke klinik tumbuh kembang anak, dan akhirnya memang dianjurkan untuk mengikuti sesi terapi.

Dan seperti sudah kuduga, tanggapan dari orang-orang sekitar memang bermacam-macam bin nano-nano, hehehe…. dari yang menyayangkan kenapa nunggu 2 tahun dulu baru ikut terapi, sampai yang sebaliknya, menganggap aku sebagai simbok yang lebay, dan membebani anak dengan target. Karena toh nanti pada umur 4 tahunan bakalan bisa ngomong sendiri juga…. tuh contohnya si ini dan si itu… Yaaah, secara kasat mata memang tidak ada yang salah dengan Fachri. Sehat, lincah dan tidak bisa diam seperti anak-anak pada umumnya. Hanya saja kontak mata-nya memang sangat-sangat kurang.
Untuk komentar-komentar itu sih pengennya makasih aja lah, namanya juga dikomentari berarti diperhati-in dong ya ? qeqeqe… *pedejayamerdeka*. Tapi kadang juga ngerasa ‘piye toh‘ juga… 2 tahun mengamati Fachri dari hari ke hari, rasanya cukup kok, untuk bisa melihat dan menerima bahwa memang Fachri butuh pendampingan khusus. Dan pernah suatu kali aku harus menelan komentar panjang lebar plus rada pedes, bahwa pendamping khusus itu tidak perlu, karena yang berpengaruh langsung adalah orang tua, n so-on, n so-on…. uhuiiii deh rasanya dihati, berasa dianggep lempar batu sembunya tangan gituuuu…. gak mau susah-susah, main nyerahin anak ke terapis aja.

Aduh, pak, mas atau oom… plis deh, jujur kacang ijo, ilmu saya itu cetek , jadi wajar kan kalau aku butuh bantuan dari orang yang punya keahlian yang sesuai dengan masalah yang aku hadapi ? Dari terapis-nya Fachri aku bisa belajar bagaimana cara yang tepat untuk melatih konsentrasi Fachri. Toh pada akhirnya terapis -istilahnya- hanya memberikan sedikit pancingan, dan selanjutnya practice-practice n practice di rumah-lah yang menentukan. Tapi ya sudahlaaaaah… biarkan orang berkata apa, lalalala…. *armandasong*, daripada ribut-ribut, diem dan senyum aja deh… anggep aja masukaaaan.

Jadiiii… begitu aku baca status panjang di fesbuk ituuu… aku sekali lagi maunya senyum aja deh… Gak kebayang gimana nyeselnya aku kalau nurutin “gak usah terapi, tunggu aja mpe 4 tahun, ntar juga bisa ngomong sendiri”. Waktu yang sudah lewat tidak bisa lagi ditebus balik bukan ? Dan memang masih banyak yang harus dikejar Fachri di usianya yang sekarang, tapi dengan bantuan dan tambahan kasih sayang dari para terapisnya, Alhamdulillah Fachri sudah mulai banyak mengalami kemajuan.

satu lagi, kutipan dari Muhammad Farhan yang presenter itu :
Akan selalu ada suka dan duka menjalani peran sebagai orang tua dari anak berkebutuhan khusus. Yang penting, buka pikiran dan hati untuk memberikan yang terbaik untuknya. Jangan terlena oleh asumsi bahwa anak berkebutuhan khusus punya kelebihan khusus, bakat dan sebagainya. Terimalah anak kita apa adanya, sama seperti anak pada umunya, dan pahamilah bawa mereka pun punya perasaan…
Pelajaran untukku, kudu bisa menahan diri dalam memberikan penilaian, masukan n saran… don’t be a sotoy-er…. peace ah…

Berharap Pada Mawar

ciyeh judulnyaaaaa….

Ehem… padahal cuma mau posting soal tanamana paporitku yang baru, wich is kembang mawar. Lha ya sopo to ya, yang enggak kenal bunga mawar. Lagu pop, ndangdut mpe keroncong juga udah ada yang nyeritain soal si Mawar ini. Tenar tenan wis pokokna…
Lha kalau memang sudah tenar dari jaman dahulu kala, kenapa pula baru sekarang aku suka mawar ? Kalau masalah senengnya sih udah dari lama lah sebenernya, cantik banget gitu lho… tapi baru berani nanem di kebon sendiri ya baru belakangan ini. Bukan apa-apa, walaupun sudah mupeng-semupeng-mupengnya liat gambar-gambar kebun mawar di seluruh dunia ini, sebagian besar atau bahkan nyaris semua mawar adalah jenis tanaman dataran tinggi. Ada juga sih beberapa yang tumbuh di dataran rendah, tapi kebanyakan bunganya berukuran jauh lebih kecil daripada yang tumbuh di dataran tinggi, plus warnanya pun tidak sesemarak mawar daerah dingin.
Tapi beberapa bulan yang lalu, pas aku iseng mampir ke Pameran Tanaman di TMII, aku ketemu nursery yang lokasi kebunnya ada di Bekasi, dan nursery itu memajang mawar-mawar yang cantik nian rupanya. Penasaran dong aku, tanya2lah tu mawar hasil rawatan mana, Puncak kali ya ? katanya sih mawar-mawar itu dirawat di Bekasi, alias sama panasnya ma rumahku yang juga di Bekasi juga….. Jadi pengen nyoba beli doooong, pegen coba nanem juga dooong…
Akhirnya iseng-iseng aku beli 2 pohon yang warna putih kemerahan dan kuning… yg kek gini nih bunganya pas aku beli
cantik-cantik kan ? siiip…. tapi kan belum terbukti bisa mekar secakep itu di rumahku. Selama ini sudah sering denger cerita, ibu-ibu yang kuciwa gara-gara pohon mawar yang dia beli Puncak atau bahkan dari tukang tanaman keliling ternyata berakhir duka, enggak mau berbunga lagi, macet, atau bahkan sampai mati merana kepanasan.
Bismillaaaaah… si putih aku tanam di bawah pohon agak teduh, sementara yg kuning aku tanam di pot gerabah. Pengen lihat hasilnya. dan taraaaa… Alhamdulillah ternyata berbunga lagi sodara-sodaraaaa… ini diaaa…
181148_4104516101873_1557038171_n copy
tetep cantik kan yaaaa…. walaupun kalau diperhatikan lebih jauh gradasi warnanya nggak sama persis ama yang pertama, ukurannya pun tidak sebesar waktu dibeli dulu. Tapi itung-itung lagi adaptasi lah ya, hehehehe….
Merasa ‘sukses’ dengan mawar dari pameran di TMII itu, di Flona tahun ini aku mulai cari-cari pohon mawar lagi. Apalagi dari hasil gugling sana-sini, aku jadi tahu kalau ternyata saat ini sudah mulai banyak dibudidayakan mawar yang lebih tahan panas, jadi bisa hidup dan berbunga di dataran rendah alias di daerah panas seperti Jakarta dan sekitanya. Istilahnya sih mawar hibrida gitu, cuma si hibrida ini memang tidak se-hot mawar dataran tinggi, dan biasanya tidak beraroma wangi. Ya gapapa to yaaa… wong ya tetep cantik je…
Dan kok ya di Flona aku ketemu lagi sama si nursery van Bekasi yang kemarin aku temuin di pameran di TMII. Jadi deh bela-beli pohon mawar lagi deh, qiqiqi….
255270_4213710631668_1533537455_n copy


 546835_4924231514246_1019121831_n
 
480496_4241194958759_891739795_n copy
198310_4965686790602_699256508_n
545373_4638545852283_1415810880_n
66466_4998364607527_1330142439_n
 
Ketagihan, wkwkwkwk… gapapalah, sekali setahun ini… *korek2dompet*. Tapi fyi, parade gambar diatas adalah gambar bunga bawaan pas dibeli pohonnya, paling ya kuncup pas dibeli dan mekar pas udah ditanam di rumahku, jadi bukan yang pyuuuur numbuh bunga dari awal di rumahku. Jadi mari kita tunggu saja hasil perawatan nursery Simbok di Bekasi sektor Ciketing… yuk mari berkebun !!

Jowo Jadul

Beberapa bulan terakhir ini aku ma masAdi punya kesenengan baru, mengisi akhir pekan dengan dinner berdua saja, huehehe…. asik toh ? dimana ? di angkringan hik depan komplek perumahan kami. Ngglosor duduk lesehan di tiker yang dihampar di emperan ruko, dengan menu sego kucing sak uba rampe dan wedang jahe, mat wiiiiss….

 
Sebagai penjelasan, masWiki menuliskan bahwa :
Angkringan (berasal dari bahasa Jawa ‘ Angkring ‘ yang berarti duduk santai) adalah sebuah gerobag dorong yang menjual berbagai macam makanan dan minuman yang biasa terdapat di setiap pinggir ruas jalan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di Solo dikenal sebagai warung hik (“hidangan istimewa a la kampung”) atau wedangan. Gerobag angkringan biasa ditutupi dengan kain terpal plastik dan bisa memuat sekitar 8 orang pembeli. Beroperasi mulai sore hari, ia mengandalkan penerangan tradisional yaitu senthir, dan juga dibantu oleh terangnya lampu jalan.
Angkringan yang di depan kompleks perumahan kami memang tidak sekumplit dan selengkap angkringan yang di Solo atau Jogja. Tapi lumayanlah, sudah cukup mewakili dengan sego kucing, tempe dan tahu bacem, sate usus, sate ati-ampela, sate puyuh dan sate ceker ayamnya… Mungkin makanan yang di sajikan tidaklah istimewa, dan sangat jauh dari empat sehat lima sempurna. Tapi aku menikmati atmosfer yang ada di cafe ala Jawa itu. Ngobrol ngalor-ngidul sambil terseret irama alon-alon dalam menghabiskan makan malam porsi camilan itu. Lha piye to, yang namanya sego kucing itu kan tiga kali disendok juga udah habis tandas masuk perut semua. Sesekali si bapak empunya angkringan juga ikut nimbrung komentar ini-itu, jadi deh aku mengasah kembali kemampuan conversation in Javaneese kromo madyo-ku, sementara mas Adi cukup ngerti saja tapi tak bisa ngomong jowo, hehehe….
 
Yen ta’ pikir-pikir… ngunduri sepuh alias seiring umur yang makin matang *mangga kaleeeee… takut bener ngomong tuwir, qeqeqe… *, rasanya aku jadi semakin seneng mengumpulkan berbagai hal yang bisa menghubungkan aku dengan masa kecilku dulu di Jawa sonoooo…. Hang-out duduk lesehan di angkringan misalnya, menikmati aroma Jawa yang jelas ndak akan bisa aku temukan kalau hang-out-nya di Starbuck *kayak pernah ngangkring di setarbak aja*
 
Tapi mungkin hal itu tidak berlaku kalau aku masih tinggal di Solo kali ye ? pan tiap hari juga ude ade temen ngomong jawa, enggak kayak di Bekasi sini, mau ngomong Jawa aja kudu nyari sparing partner dulu, wkwkwkwk….
 
Bahkan dalam mendekor rumah pun aku memilih kembali jadi orang Jowo, ndak peduli yang lagi trend itu gaya minimalis, aku maunya tetep jowo jadulers, huehehehe…..
 
 
 

Back to Batik

Jujuuuuuuuuuuuur…. ngaku salah duluuuuuuuuuuu….

Dulu-dulunya aku tidak begitu tertarik pada batik. Entah kenapa, walaupun aku suka menjahit baju dan membuat pernak-pernik dari kain, aku lebih menyukai kain katun dengan motif bunga-bunga kecil yang lucu. Motif batik buatku terkesan berat dan seriyus…. Sementara daku walaupun secara bodi boleh dibilang berat juga, tapi jiwaku kan cerah ceria gembira tralalalala…. *dikepret sendal*
Padahal simbahku tu jago nge-batik, plus ibuku sendiri waktu kecil juga pernah mburuh batik di jaman susah dulu… Jadi bisa dibilang pengetahuan tentang batik ibuku bisa dibilang cukup lah, ngerti cara pembuatannya secara detil plus tahu dikit2 tentang motif dan nama-nama batik. Sementara aku ? oh tidaaaaaaaaaak… tahunya cuma motif lereng doang, qiqiqiqi….
Kesanku tentang batik yang seriyus dan berat mungkin karena dulunya yang aku kenal hanyalah batik aliran Solo-Jogja yang didominasi warna coklat alias sogan. Belum begitu kenal dengan batik aliran pesisir yang ceriah ceria dan penuh warna. But, selalu ada pintu menuju pengetahuan bukan ? qeqeqeq….
Dan semua itu dimulai dari gambar sebuah tas cantik berbahan batik yang nyelonong nempel di tembok-ku di lapak sebelah. Whuaaaa…. cantik nian batinku… lain dengan tas-tas batik yang biasa aku lihat sebelumnya. Jadi pengen tahu dooong, mupeng juga doooong… colek sana colek sini, akhirnya aku bisa juga punya tas batik seperti yang aku lihat di tembokku itu…
Dan gara-gara urusan perburuan tas batik itu aku jadi kenal dan berteman ma bakul-bakul batik di lapak sebelah. Jiyaaaah, jadi berlanjut deh demamnya… jadi tau macem-macem batik lebih jauh lagi. Dan terpesona pada batik pesisiran yang riang gembira tralala…
Dan salah satu yang membuatku terpesona mpe ngeces2 adalah batik tulis motif Hokokai.
cantik sekali bukaaaaaan…
dan ternyata dibalik motif Hokokai ini ada sejarahnya lho….
eww, tapi ntar aja ceritanya ya, atau barangkali MamahDepin yang mau cerita, karena kalau gak salah kisah Hokokai ini digelar di Pekalongan…
Mamaaaaaaaaaaaaaaaaaaah …. *TOA switch on*