Kira-kira bulan Maret tahun lalu, aku iseng ikut latihan penulisan di majalah Ummi. Heheheh… lagunya ya ? sok mo jadi penulis. Di akhir latihan, setiap peserta kalo mo dapet sertifikat harus membuat tulisan fiksi dan non fiksi. Seperti biasa, last minute person ini baru ngirim tulisan di akhir tenggat waktu penyerahan. Selanjutnya, terserah anda deh….
Tunggu punya tunggu, kok nggak ada kabar ya ? Akhirnya macam lagu dangdut, pasang judul PASRAH aja deh….. lha ya mungkin daku ini gak da bakat tulis menulis geto, mosok mo maksain juga. Tapiiiiii….. Alhamdulillah kemarin akhirnya datang juga tu sertipikat !! huehehehehe….. jadi aku bisa sedikit pamer (ah masak dikit ? perasaan tu sertifikat dijembreng kesana kesini di rumah ) ke anak-anak. Nih, ibu bisa nulis…. wakakaka… narsis abis deh !
Nah, dalam rangka narsisme itu pula, tugas latihan penulisan itu dipajang disini…
Pak, Saya Ingin Menikah….
( hihihi…. judul yang norak abis !!! )
Pernikahan merupakan salah suatu langkah penting dalam hidup bagi hampir semua orang, begitu juga bagi saya. Banyak hal berkesan yang bisa dikenang sejak dari proses menuju pernikahan, masa-masa awal pernikahan, sampai saat ini menginjak tahun ketiga belas saya menyandang status sebagai istri, dengan tambahan hasil tiga ‘buntut’ yang makin meramaikan suasana rumah. Alhamdulillah, rahmat Allah bertebaran di sepanjang hidup pernikahan saya.
Ada satu peristiwa yang tidak akan pernah saya lupakan, yaitu saat pertama kali saya menyampaikan niat saya untuk menikah pada kedua orang tua saya. Jelas saya belum pernah punya pengalaman untuk itu sebelumnya. Grogi, deg-degan, takut, campur aduk jadi satu. Bagaimana cara saya menyampaikannya ? Bagaimana kalau mereka keberatan ? Apalagi kedua orang tua saya tidak pernah mendengar cerita saya punya pacar, kok ini tiba-tiba nembung rabi, alias minta ijin ingin menikah.
Saat itu saya tinggal dan bekerja di Jakarta, sementara kedua orang tua saya tinggal di Solo, kota kelahiran saya. Dengan pertimbangan lokasi yang berjauhan tersebut, akhirnya saya memilih untuk memanfaatkan pesawat telepon. Untuk hal sepenting minta ijin menikah, hanya menggunakan telepon mungkin bisa dianggap kurang sopan, kurang menghormati orang tua. Sowan atau menghadap langsung ke Solo, rasanya jauh lebih pantas.
Saya bisa saja berdalih bahwa itu hanya karena ‘biar cepet’. Tapi harus saya akui bahwa dengan menelepon saya bisa menghindari kerepotan-kerepotan lain yang mungkin bisa timbul. Paling tidak saya tidak perlu beli tiket bis Jakarta-Solo pp. Juga saya tidak perlu membuat skenario atau bahkan mungkin berlatih satu adegan pendek dimana saya harus menyampaikan keinginan saya dengan lengkap dengan bahasa tubuh yang pantas. Dan yang jelas saya bisa menyembunyikan raut muka saya yang merah padam karena isin ning pengin alias malu-malu tapi mau. ( Waaaa…. ini sih bener-bener malu-maluin )
Maka jadilah saya menelepon orang tua saya. Panas dingin dan salah tingkah jelas, tapi setidaknya mereka tidak melihat bukan ? Tanpa berputar-putar, saya langsung menyampaikan niat saya. Terus terang saya tidak berani membayangkan bagaimana reaksi kedua orang tua saya. Apalagi mereka belum pernah melihat calon suami saya. Belum lagi saya adalah anak perempuan mereka satu-satunya dan mereka belum pernah sekalipun punya menantu, saya yang akan jadi yang pertama dalam keluarga. Well, selalu ada saat untuk yang pertama, pikir saya.
Saya sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi ‘interogasi’ dari ayah saya, pertanyaan-pertanyaan baku untuk fit and proper test semacam ini. Sudah bekerja atau belum, asalnya dari mana, siapa orang tuanya dan seterusnya, dan sebagainya. Tentunya sangat penting bagi kedua orang tua saya, bahwa anak perempuan mereka yang cuma satu ini mempunyai suami yang sudah mapan dengan asal-usul yang jelas. Bobot, bibit dan bebet, begitu kata orang Jawa.
Tapi yang membuat saya kaget dan terkesima, pertanyaan pertama ayah saya adalah “Badannya lebih tinggi siapa, kamu atau dia ?” Jujur saya tidak tahu harus tertawa keras-keras atau tersinggung berat. Tinggi badan saya memang diatas rata-rata perempuan Indonesia pada umumnya, 173 cm. Tapi masa iya sih, itu hal pertama yang ditanyakan ? Belakangan ibu saya mengatakan bahwa ayah saya mungkin hanya kaget, karena selanjutnya toh hal itu tidak dipermasalahkan. Alhamdulillah tidak ada keberatan, ijin langsung diberikan. Dan pada saat lamaran diajukan, ayah saya boleh merasa lega, karena calon suami saya lebih tinggi tiga senti dari saya.