Pulang kampung Lebaran kemarin, aku iseng bongkar-bongkar simpenan batik tulis Ibu-ku, wuiiiih cakep-cakep. Dan seperti lazimnya batik-batik produk jadoel ( jadul menurut kacamataku yang juga sudah termasuk jadul ini… jadi silahkan pakai rumus jadul kwadrat deh ), motif pada kain batik itu masing-masing punya nama dan ‘filosofi’ tersendiri…. hahahahah…. sok ngerti deh aku. Jadi malu, ha wong ngertinya ya cuma motif parang yang relatif paling mudah dikenali sama motif sekar jagad aja lhooo ( soale itu yang kupakai waktu jadi ratu sehari 😀 )
Hhhmmm…. yang begini-an mana kepikiran kalau lagi di Jakarta ya ? (sok) sibuk nggak ada waktu dan tenaga buat mikirin akar budaya sendiri. Lha mbok ya mumpung lagi di Solo, sembari pulang kampung mbok yao mencoba mempelajari dan menguri-uri kebudayaan sendiri. Nara sumber dekat, atmosfer dan suasana kebatinan ( halaaaaah ) mendukung…. Jangan cuma petentang-petenteng pamer kalau sudah jadi wong nJakarta, ( eh mBekasi ding ) …. berasa dah gaya metropolitan pooool wis ! ( siapa tuh ?…. xixixixi…. saya sendiri nih bu !! )
Asik juga rasanya, kalau pas lagi di kampung halaman ada jadwal acara mengenal kampung dan budaya kita masing-masing. Bukan masalah primodialisme, tapi mosok nanti anak-cucu kita kalau pengin belajar ngomong Jawa musti pergi ke negeri kumpeni sana, atau mo nonton reog kok malah perginya ke malaysia….. haiyaaaaa…… jangan sampai laaaaah…. Jadi yuk, yang punya kampung di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan seterusnya dan selanjutnya, yuk mari temukan dan hargai our diversity untuk memperkaya our unity. Jangan cuma bisa kebakaran jenggot kalau sudah kemalingan lagi…..