perempuan bersepeda butut

Setiap hari aku berangkat ke kantor antara jam 05.45 sampai 06.00 pagi, dan hampir di setiap pagi itu aku bertemu -atau lebih tepat mendahului- seorang perempuan paruh baya berbadan kecil sedang mengayuh sepeda butut. Kadang ketemunya di gerbang komplek, atau kalau aku lagi kesiangan ketemunya ya lumayan jauh, nyaris 3 km dari perumahanku. Sering kali ketemu, tentu saja menimbulkan rasa ingin tahuku, secara gitu lho… hampir tiap pagi ketemu, pagi-pagi masih lumayan gelap pula.

Bukan cuma itu saja, disaat aku pulang kantor pun aku sering melihat perempuan kecil itu mengayuh sepedanya searah denganku, alias ke arah pulang. Jadi asumsiku dia juga pulang kerja sama seperti aku. Tapi kerja dimana ya ? kok berangkatnya pagi-pagi bener, pikirku sih kalau dia naik sepeda berarti jarak rumah dan tempat kerjanya nggak jauh dong…. kalau jauh kan mending naik angkot getu.

Sekian lama memendam tanya ( halaaaah….. ) akhirnya kemarin pertanyaanku terjawab, si ibu itu ternyata tetangga-nya ummi pengajianku. Dari situ aku juga tahu bahwa perempuan itu adalah seorang janda yang ditinggal pergi begitu saja oleh suaminya bertahun-tahun lalu, dan saat ini dia harus bekerja untuk menghidupi seorang anak dan ibunya sendiri yang sudah sepuh. Tiap pagi harus menempuh jarak Bekasi Timur – Cibitung ( kira-kira 15 km kali ya ? pokok’e jaooooooh…..) dengan sepeda bututnya. Dan ternyata sodara-sodara, sebelum memiliki sepeda butut itu, jarak Bekasi Timur – Cibitung itu ditempuhnya dengan berjalan kaki !

Pagi-pagi abis shubuh, berangkat kerja on foot, pulangnya ya mlaku maning alias jalan kaki lagi. Kenapa ndak naik angkot aja ? jawaban untuk pertanyaan itu adalah kalau naik angkot gajinya bakalan habis di ongkos… alias gak ada lagi yang bisa dibawa pulang *sigh*. Sepeda itu pun diperolehnya dari ibu-ibu majelis taklim yang prihatin pada kondisinya, dan kemudian urunan untuk membelikannya sepeda second.

Mendengar cerita itu mau ndak mau aku merasa malu sendiri…. Bukan apa-apa, ketika kemarin pontang-panting ngurusin dan nungguin Fachri di rumah sakit, aku sempet nggersulo karena merasa sendirian tanpa didampingi bapak Adi dalam menghadapi cobaan hidup ini….. ( prikitiiiiiwwwww deh…. ). Sodara-sodara tahulah, i’m not a wonder woman…. capek gedabrukan dan merasa sendirian…. ( lebay version ).

Padahal pada kenyataannya pak Adi ada kok, kalaupun posisinya jauh di Tarakan sono, toh jauhnya posisi belio itu demi kepentingan keluarga juga, demi kepentingan kami juga. Aku juga ndak bisa dibilang sorangan wae ngurusin Fachri, ada Mar pengasuhnya Fachri yang juga ikut nginep di rumah sakit. Kamar-pun Alhamdulillah bisa milih yang bagus, meskipun bukan yang terbagus, tapi setidaknya kami bertiga bisa kemping sekamar di rs tanpa harus berbagi dengan pasien lain. Anak-anak yang di rumah pun baik-baik aja dengan asisten2 yang di rumah…

Jadi kenap musti merasa merana sedih tiada tara ? Ada yang harus berjuang lebih keras daripada aku, jauh lebih keras untuk hasil yang mungkin tidak seberapa, sendirian pula…..
Duh Gusti nyuwun pangapunten…..

ps : thank’s Dew, postinganku gak jadi ngilang tanpa bekas…. :))